Free cookie consent management tool by TermsFeedBertani Bisa Menjanjikan Asal Ditekuni, Belajar Yuk dari Petani Sukses Ini - Demfarm
logo-demfarm

Bertani Bisa Menjanjikan Asal Ditekuni, Belajar Yuk dari Petani Sukses Ini

·
<p>Kisah Petani sukses &#8211; Foto oleh flickr.com</p>

Kisah Petani sukses – Foto oleh flickr.com

(Istimewa)

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dimana pertanian menjadi tulang punggung perekonomian. Namun, saat ini Indonesia dibayang-bayangi krisis regenerasi petani. Sebab jumlah pekerja di sektor ini, khususnya anak muda, terus mengalami penurunan dari masa ke masa.

Pertanian menjadi sektor yang kurang diminati oleh generasi milenial karena pendapatan yang rendah. Berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sebesar Rp1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada.

Padahal, pertanian dapat menjadi sektor yang menjanjikan jika ditekuni dengan serius. Dibalik kisah kehidupan sulit yang dialami petani, ada banyak pula yang sukses menekuni profesi ini. Dikutip dari Kumparan.com, berikut kisah tiga petani sukses yang dapat menjadi inspirasi bagi kaum milenial agar tidak ragu untuk menjadi petani.

Aluysius Adiyo Agung

Aluysius Adiyo Agung berhasil mematahkan anggapan bahwa menjadi petani akan jauh dari kata sejahtera. Pria berusia 44 tahun ini telah berhasil membuktikan bahwa dengan menjadi petani di Indonesia, Anda juga bisa merasakan kesuksesan. Bahkan memiliki tabungan yang menjanjikan untuk hari tua.

Agung pada mulanya bukanlah seorang petani. Ia sama sekali tidak memiliki latar belakang pertanian dan memulai karirnya sebagai pegawai di sebuah perusahaan asing. Ketertarikannya untuk bertani muncul saat ia mengunjungi desanya di kawasan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di sana ia mendapati fakta bahwa kebanyakan petani adalah mereka yang telah berusia senja, bukan pemuda yang punya fisik lebih prima.

Setelah memperdalam ilmu tentang pertanian, akhirnya Agung memutuskan untuk banting setir menjadi petani. Meski sempat gagal, ia tidak pernah menyerah. Agung bahkan menciptakan inovasi dalam penjualan hasil panen, yakni direct selling tanpa melalui tengkulak. Dengan cara ini ia pun mendapat keuntungan yang lebih besar.

Ulus Pirmawan

Ketekunan adalah kunci kesuksesan. Hal inilah yang menjadi pegangan Ulus Pirmawan saat menjalani profesinya sebagai petani. Dengan ketekunan dan pengalaman yang kaya, pria kelahiran Bandung ini sekarang sukses menjadi seorang petani sekaligus eksportir buncis super. Ulus memang memiliki latar belakang petani karena ayah ibunya pun seorang petani.

Langkah Ulus sebagai seorang petani dimulai saat ia masih duduk di tingkat Sekolah Dasar (SD). Ia memang sering membantu orangtuanya bertani sepulang sekolah. Saat akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut sekolah, Ulus pun fokus mengurus sawah yang diberi orangtuanya. Lahan seluas 1.680 m2 itu pun dimanfaatkannya sebaik mungkin. Setelah dewasa, akhirnya Ulus dipercayai mengelola lahan tersebut dengan bantuan 5 orang buruh tani.

Dengan jam terbang tinggi, Ulus pun mendapatkan hasil panen yang menjanjikan. Namun kendalanya satu, pengepul di daerahnya tidak transparan sehingga pemasukan yang didapat tidak seberapa. Setelah itu, ia memberanikan diri untuk mengirim buncis ke Jakarta. Tahun 1995 ia bahkan mulai mengirimkan hasil panen ke Singapura.

Abdul Qohar 

Jika Ulus berhasil sukses dengan bertani buncis, Abdul Qohar juga meraup kesuksesan dengan menjadi petani buah pepaya. Tak tanggung-tanggung, papaya Calina yang ditanam Qohar bisa menghasilkan profit hingga Rp18 juta tiap bulan. Angka tersebut sudah bersih termasuk dengan risiko gagal panen. 

Apabila risiko gagal panen bisa ditekan, Abdul Qohar bahkan bisa mendapatkan laba hingga Rp20 juta per bulan. Padahal lahan yang ia miliki di Desa Candisari, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur tergolong gersang dan kering karena dekat dengan wilayah pesisir. Pilihannya untuk menanam pepaya pun sering dianggap aneh karena memang masyarakat sekitar lebih memilih untuk menanam jagung atau tembakau.

Namun Qohar tidak menghiraukan perkataan tersebut. Ia tetap mantap memilih pepaya. Hasilnya kini ia memiliki lahan seluas 15 hektar yang berisi tanaman pepaya Calina. Keberhasilannya ini pun akhirnya diikuti masyarakat sekitar. Qohar pun pada akhirnya memutuskan untuk membentuk Kelompok Tani Godong Ijo Sejahtera yang mewadahi petani di wilayah Desa Candisari.

Pemerintah Targetkan Cetak 2,5 Juta Petani Millennial 

Pemerintah melakukan berbagai upaya agar regenerasi petani tidak menjadi ancaman kemunduran sektor pertanian di Indonesia. Untuk itu, Kementerian Pertanian menargetkan untuk mencetak 2,5 juta petani milenial selama 5 tahun.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengatakan perlu dilakukan regenerasi untuk meneruskan pertanian di Indonesia, sebab 70 persen lebih petani ialah petani tua.

“Maka dari itu perlu dilakukan regenerasi, diantaranya dengan program petani milenial. Kita targetkan tercetak 2,5 juta petani milenial dalam 5 tahun,” ujar Mentan dilansir Media Indonesia pada Kamis 9 September 2021.

Menurutnya meskipun sektor pertanian kini sudah menjadi sektor yang menjanjikan, tetapi tidak mudah melakukan akselerasi untuk menggerakan generasi milenial agar mau bertani.

“Tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat,” kata SYL.

Namun, lanjut dia, pemerintah akan terus merekrut generasi muda untuk menjadi petani milenial. Diantaranya dengan memfasilitasi permodalan, pembibitan, pemupukan, hingga pelatihan.

Terpisah, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kuntoro Boga Andri  menilai permasalahan regenerasi petani sebetulnya bukan hanya dialami Indonesia saja karena hampir semua negara di belahan dunia juga mengalami hal yang sama.

“Yang membuat generasi muda masih enggan terjun di sektor pertanian karena ada faktor psikologis dan ekonomis yaitu, stigma petani yang masih dianggap pekerjaan kelas bawah dan stigma pendapatan sektor pertanian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan non pertanian,” kata Kuntoro dilansir Republika pada Jumat, 24 September 2021.

Namun, seiring perkembangan teknologi dan informasi justru para milenial bersemangat terjun di sektor pertanian karena mereka tahu bahwa dibalik tantangan yan dihadapi pendapatan di sektor pertanian ini sangat menjanjikan.

“Karakteristik petani milenial itu adaptif terhadap perkembangan teknologi dan inovatif. Banyak hal-hal baru yang berhasil mereka aplikasikan, memecahkan kebuntuan dalam pengembangan usaha tani dan yang paling utama adalah menciptakan pasar baru yang potensial,” kata Kuntoro.

Kuntoro memaparkan setidaknya ada 2,7 juta petani yang tergolong petani milenial dari total 33 juta petani yang ada di Indonesia. Selain karena usia yang tergolong muda, di bawah 39 tahun, mereka yang termasuk petani milenial adalah yang memiliki latar belakang pendidikan minimal SMU, adaptif dan inovatif terutama dalam mengoptimasi ICT (Information and Communication Technologies) serta kreatif dalam memanfaatkan alat dan mesin pertanian. 

Oleh karena itu, Kuntoro melanjutkan beragam kreatifitas petani milenial bermunculan justru di masa pandemi. Ia mencontohkan lemon garut yang diproduksi oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Putri Sawargi bersama Eftilu yang memasok kebutuhan vitamin C para tenaga medis di seluruh RSUD Kabupaten Garut.

“Itu kan keren. Bagaimana memberdayakan potensi lokal dan di waktu yang sama turut mendukung dan membantu pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dengan mendukung kebugaran dan daya tahan tubuh para tenaga medis selama menangani Covid-19,” ungkapnya.

Cerita sukses lainnya, Kuntoro melanjutkan adalah Dede Koswara (31 tahun) asal Bandung bersama Gapoktan Regge yang menanam labu dan mampu menjualnya 20 hingga 40 ton ke berbagai daerah dalam sehari dengan omzet berkisar Rp50-100 juta.

“Itu adalah sedikit cerita hebat para petani milenial kita. Maka, bertani itu hebat, menjadi petani itu keren,” tandasnya.

Penulis: Eva

Topik
Artikel Terbaru